RESTORASI KEHIDUPAN KELUARGA
Oleh: Darwin Lumbantobing
Alfin Toffler, futorolog dan penulis The Future’s Shock, awal 1980-an, mengatakan; ekses globalisasi yang membonceng industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dapat meruntuhkan dan memporak-porandakan nilai-nilai etis moral yang selama ini dijunjung agama. Hampir tidak ada yang dapat menghempang demoralisasi yang berbaur dengan pola hidup globalisasi itu. Satu-satunya yang dapat menghempangnya hanyalah keluarga.
Keluarga merupakan satu-satunya harapan dan benteng terakhir mengawasi, membina, membentuk dan memelihara nilai-nilai etis, moral dan peradaban kemanusiaan, termasuk nilai-nilai kekristenan. Karena itu, keutuhan kehidupan keluarga sangat perlu dipelihara dan dipertahankan. Sebab peranannya sangat potensil menyangga kehidupan moral masyarakat dan nilai-nilai etis kekristenan.
Akhir-akhir ini, dikuatirkan telah terjadi degradasi moral dalam keluarga. Kehidupan suami isteri dan anak telah dirongrong sehingga meruntuhkan keutuhan keluarga. Dalam keadaan seperti itu, peranan keluarga tidak mungkin lagi diharapkan dapat menyangga kehidupan etis dan moral. Kondisi keluarga seperti itu membutuhkan pemulihan untuk mengembalikan fungsi keluarga yang sebenarnya. Sebab itu, kehidupan keluarga perlu direstorasi, dibangun kembali, disegarkan kembali dan dipulihkan kembali agar dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya. Dengan alasan tersebut, maka Tahun Keluarga HKBP 2016, kita sambut sebagai bentuk restorasi kehidupan keluarga warga HKBP.
Tahun Keluarga 2016
Tahun Keluarga HKBP, 2016 dengan tema: “Akan tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Allah” – “Alai anggo ahu dohot donganku sajabu, Jahowa do oloannami”. HKBP yang terdiri dari ribuan keluarga akan bergerak memulai dan menerima pembinaan keluarga. Tujuan tahun keluarga ini tentunya akan membentuk keluarga yang takut akan Tuhan. Keluarga yang hidup di dalam ibadah. Keluarga setia kepada Tuhan melalui berbagai penghayatan dan pemaknaan akan keselamatan, kasih setia Allah, perlindungan dan berkat yang diberikanNya terhadap setiap keluarga. Dengan demikian, setiap keluarga harus menjadi keluarga yang bersaksi, bermisi dan turut serta mengajak orang lain dan keluarga lain agar tetap beribadah hanya kepada Allah saja.
Keluarga yang setia beribadah hanya dapat terjadi apabila setiap anggota keluarga, pribadi lepas pribadi, bapak, ibu dan anak, adalah orang-orang yang setia beribadah. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang bersaksi melalui ibadahnya. Mereka jugalah yang disebut orang-orang yang missioner. Pembentukan keluarga yang setia beribadah, yang takut akan Tuhan, dan yang missioner, harus ditempuh melalui berbagai pembinaan, penataran, pengayaan, dan berbagai latihan spiritualitas Kristen lainnya, yang dilaksanakan terhadap orangtua, bapak dan ibu dan terhadap anak-anak dan seisi rumah secara simultan.
Keluarga Kristen – Batak
Perpaduan nilai-nilai kekristenan dengan adat Batak tidak selalu mudah dipahami. Nilai-nilai kekristenan dalam kehidupan masyarakat Batak sebenarnya sudah merupakan norma-norma kehidupan yang harus dipatuhi. Namun demikian, adat Batak juga merupakan norma kehidupan yang tidak dapat begitu saja ditinggalkan atau dilupakan. Akibatnya nilai-nilai kekristenan dan adat Batak sering tarik-menarik, saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat Kristen Batak. Hubungan nilai-nilai kekristenan dengan adat Batak sebagai norma susila, etika kehidupan dan penentu nilai-nilai moral; ada yang kontroversial dan ada juga yang fleksibel.
Kontroversi dan fleksibilitas adat dalam kehidupan Kristen dapat dilihat dalam kehidupan Kristen Batak ketika melaksanakan ritus-ritus perayaan gerejawi dan pelaksanaan adat Batak. Hal itu terjadi karena implementasi nilai-nilai kekristenan dan adat Batak selalu dinamis, aktual dan kontekstual.
Adat Batak sendiri sudah menunjukkan kedinamisannya. Sebab sumber adat Batak terdiri dari tiga sumber: Adat Sijolojolo Tubu, yaitu yang diwarisi dari leluhur Batak. Adat Na Niadathon, kebiasaan yang disengaja atau direncanakan supaya masuk menjadi adat. Adat Na Taradat, kebiasaan yang tidak disengaja, tetapi pada akhirnya sudah menjadi adat atau bagian dari adat. Inilah penyebab adat Batak ada yang kontroversial dan yang fleksibel.
Pokok-pokok Pembinaan Keluarga
Dalam kehidupan masyarakat Batak Kristen, ada berbagai paradigma, pandangan dan pemahaman yang perlu diluruskan dan dipulihkan. Misalnya tentang paham pernikahan, kehidupan keluarga, peranan bapak, ibu dan anak. Untuk itu dibutuhkan restorasi tentang kehidupan keluarga, minimal dalam 6 (enam) pokok pemahaman, yaitu:
Teologi Pernikahan
Formula teologi pernikahan yang dianut HKBP adalah: Allah Bapa yang memberkati pernikahan suami dan isteri, di dalam Yesus Kristus, melalui gereja sebagai tubuh Kristus dan dilaksanakan oleh hambaNya, yaitu pendeta. Inisiatif pemberkatan nikah dari Allah sebagai pemberi cinta dan kasih kepada kedua mempelai. Cinta dan kasih di antara kedua mempelai lahir, bertumbuh dan mekar, dan akhirnya mereka sepakat menerima pemberkatan nikah untuk menjadi suami isteri. Pemahaman dan keyakinan ini dikuatkan firman Tuhan: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” (Mateus 19: 6).
Melihat maraknya kasus perceraian akhir-akhir ini, baik di kalangan yang bukan Kristen maupun di kalangan Kristen, maka sudah perlu diadakan restorasi pemahaman tentang teologi pernikahan. Penyegaran ulang teologi pernikahan ini perlu diikuti oleh setiap pasutri, pasangan suami isteri. Dengan demikian disegarkan kembali makna perkawinan yang sedang dilakoninya.
Tuhor ni Boru
Sesuai dengan cerita penciptaan manusia (Kejadian 1:26 – 2:4a dan 2:15-25), Hawa bukan hasil temuan, pencarian apalagi hasil pembelian Adam. Hawa sama dengan Adam, hasil ciptaan Allah sendiri. Allah sendiri yang memberikan Hawa kepada Adam sebagai pasangan hidupnya.
Dalam ritus perkawinan yang dirancang dan diberlakukan manusia ada suatu transaksi ekonomis, dengan kata tuhor, boli, mahar. Pihak keluarga laki-laki membeli anak gadis dari pihak keluarga perempuan. Ungkapan yang dipakai untuk transaksi ini memakai bahasa jual-beli, layaknya harta benda dan tidak lepas dari nilai-nilai ekonomi pada zamannya.
Pemahaman terhadap pelaksanaan transaksi jual beli ketika hendak mengikat hubungan suami isteri ternyata mempunyai ekses negatif. Seolah-olah suami adalah pemilik sah atas isterinya. Makna implikatifnya, suami berhak atas semua kehidupan isterinya. Isteri adalah sebagai harta benda, proverty, sang suami. Sayangnya, teks-teks Alkitab banyak mendukungnya pula.
Hukum ke-10 misalnya mengatakan: “Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apa saja yang dipunyai sesamamu” (Keluaran 20:17). Di sini isteri benar-benar disejajarkan bahkan disetarakan dengan hamba, lembu dan keledai yang sama harkatnya sebagai harta milik, proverty, yang memiliki nilai-nilai ekonomis bagi pemiliknya.
Pemahaman hubungan suami dan isteri perlu direstorasi, dibangun ulang, sesuai dengan pemahaman yang sebenarnya. Hubungan suami dan isteri adalah hubungan kesalingan, saling mencintai, saling melindungi/menjaga, saling memiliki, saling menghormati, saling mengisi, saling memahami, saling memperbaharui. Dengan demikian posisi dan status suami dan isteri adalah sejajar, sepadan dan setara antara yang satu dengan yang lain.
Pelaksanaan Adat Perkawinan
Ritus perkawinan keluarga Batak selalu disertai dengan pelaksanaan adat budaya Batak. Misalnya pemberian ulos yang disertai dengan penyampaian umpasa – yang berisikan pesan-pesan etis, harapan dan cita-cita di masa depan terhadap kedua mempelai yang telah menjadi keluarga baru. Isi pesan-pesan yang disampaikan melalui umpasa tersebut dominan mengenai hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Artinya, suami isteri yang baru menikah itu sudah sejak awal dan sesegera mungkin diharapkan agar memiliki jumlah keturunan yang banyak, menjadi orang yang memiliki harta kekayaan dan menjadi orang yang terpandang di tengah-tengah masyarakat.
Tubuan laklak ma jala tubuan singkoruUmpasa di atas ini selalu disampaikan terhadap kedua mempelai. Harapan keluarga Batak terhadap anak atau boru yang baru saja menikah dominan agar menjadi keluarga yang memiliki jumlah keturunan yang banyak, memiliki harta benda dan kaya raya. Hampir tidak ada umpasa yang berisikan pesan teologis dan etis tentang peranan dan hubungan suami isteri, tentang kesetiaan di dalam perkawinan, takut akan Tuhan dan agar menjadi warga jemaat teladan di gereja dan masyarakat.
Di dolok ni purba tua,
Tubuan anak ma dohot tubuan boru
Donganmuna mangolu sahat tu na saurmatua.
Sebab itu, pemahaman tentang hubungan dan peranan suami dan isteri perlu direstorasi, agar kembali kepada pemahaman yang sebenarnya, agar hidup dalam kesalingan, saling mencintai, saling menolong dan saling mengampuni. Itulah sebabnya Yesus Kristus sendiri mengambil hubungan suami isteri sebagai gambaran hubungan diriNya dengan jemaat yang dikasihiNya.
Status Ama dan Ina dalam Keluarga
Posisi dan peranan suami dan isteri dalam keluarga masih dominan dipengaruhi adat budaya Batak yang sifatnya patriarchat dan sangat androsentrik – sifat yang selalu mengutamakan laki-laki. Dengan demikian sikap diskriminatif masih mewarnai prilaku masyarakat Batak terhadap laki-laki dan perempuan. Sikap diskriminatif itu sangat jelas kelihatan dalam masyarakat Batak. Misalnya, kematian suami secara Adat Batak disebut sebagai peristiwa maponggol ulu, patah dan terputus kepala dari tubuh. Kalau hal itu terjadi tentu tidak dapat diganti lagi. Sedangkan bila isteri yang meninggal cukup disebut matompas tataring – dipan, tempat tungku memasak roboh, runtuh, yang dapat diganti kapan saja, bahkan mungkin penggantinya dapat yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Pemahaman tentang status suami dan isteri di sini jelas dibedakan. Dalam pola pikir adat Batak, ada prapaham bahwa isteri tidak diperbolehkan mencari pengganti suami yang telah meninggal dunia. Sedangkan suami diperbolehkan bahkan sering dianjurkan untuk mencari pengganti isteri yang sudah meninggal dunia. Implikasi pemahaman ini melahirkan penghargaan yang lebih rendah terhadap isteri dan perempuan dari pada kepada suami dan laki-laki. Oleh karena itu, pemahaman terhadap status dan posisi suami dan laki-laki, demikian juga terhadap isteri dan perempuan perlu direstorasi, direvisi, diperbaharui dan diluruskan sesuai dengan harkat, martabat dan kodrat kemanusiaan.
Ama Na Marsahala, Ina Soripada, Anak Sioloi Poda
Salah satu pokok dari tujuan restorasi kehidupan keluarga adalah pembentukan ama na marsahala–bapak yang berwibawa, ina soripada–isteri teladan dan anak sioloi poda – anak yang patuh pada nasihat orangtua. Melihat keadaan dan kondisi keluarga masa kini, sudah sangat jauh dari pola hidup dan karakter sebagai ama na marsahala, ina soripada dan anak sioloi poda. Berbagai hal yang menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah ekses negatif dari era globalisasi, yang melahirkan industrialisasi, kemajuan teknologi dan kecanggihan perangkat-perangkat teknologi informasi.
Kini sudah menjadi kenyataan dan dapat dilihat secara kasat mata, bahwa so many fathers and mothers, but so few parents – sungguh banyak yang menjadi bapak dan ibu, tetapi sangat sedikit yang menjadi orangtua. Menjadi seorang bapak itu mudah, cukup menjalankan fungsinya sebagai suami, yaitu menjadi ama parsinuan. Menjadi seorang ibu itu mudah, cukup dengan menjalankan fungsinya sebagai ina pangintubu. Akan tetapi menjadi ama parsinuan dan menjadi ina pangintubu belum tentu dapat berfungsi sebagai orangtua bagi anak-anaknya. Makanya, restorasi kehidupan suami isteri perlu diadakan agar mereka kembali sebagai pendidik, pembimbing, pengayom dan figur teladan kepada anak-anaknya.
Nunga Piga Gellengmu?
Ada kebiasaan orang Batak, setelah lama tidak bertemu dengan seorang kenalannya dan ingin tahu keadaan hidupnya, maka akan bertanya: Nunga piga tahe gellengmu? Lalu dijawab: Onom do lae, opat ma i baoa, dua ma i boru. Lalu secara spontan direspon: Bah, martua na i ho lae! Kemudian dijawab lagi: Tole ma nian lae, asal ma mangolu!
Ini betul-betul mengerikan sekali, bila tujuan perkawinan untuk memperoleh anak adalah hanya asal ma mangolu. Mungkin pemahaman ini datang dari umpasa Batak yang mengatakan: gara ni api di toru ni sobuan, nang pe malapalap asal ma di hangoluan. Tujuan suami isteri dalam membentuk keluarga memang ada untuk memperoleh anak. Akan tetapi memperoleh anak yang dimaksud bukan asal ma mangolu, melainkan harus menjadi anak yang berguna, bagi kehidupannya sendiri dan bagi kehidupan orang lain, bagi keluarga, gereja dan masyarakat.
Jadi pemahaman tentang peroleh anak perlu direstorasi. Pertanyaan berapa anak dipastikan tidak perlu diajukan. Akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah: sudah bagaimana keadaan anakmu? Bukan jumlah nominal anak yang perlu ditanyakan, melainkan keadaan hidup, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan posisi kedudukan di tengah gereja dan masyarakat.
Melihat keadaan hidup keluarga masa kini, maka restorasi kehidupan keluarga mutlak diperlukan. Restorasi itu dapat dilakukan dengan program bina keluarga, baik secara kategorial, misalnya kepada anak-anak dan orang tua, atau secara posisional, terhadap anak, suami dan isteri. Kondisi keluarga masa kini mengharuskan restorasi kehidupan keluarga tidak dapat ditawar-tawar lagi, sudah menjadi keharusan. Bila tidak, kehidupan keluarga dan kehidupan warga jemaat akan semakin parah lagi di masa depan.
Keenam pokok persoalan kehidupan keluarga ini dapat menjadi acuan untuk menyusun program pembinaan tentang restorasi kehidupan keluarga. Setidaknya bila ini dilaksanakan, maka kehidupan keluarga, hubungan suami dengan isteri, hubungan anak-anak dengan orangtua dapat pulih kembali, menjadi keluarga yang harmonis dan keluarga yang berbahagia.
Selamat menjalani restorasi kehidupan keluarga!
(Penulis Pdt Dr Darwin Lumbantobing mantan Ketua STT HKBP dan Ketua Rapat Pendeta HKBP.)
Sumber : SuaraHKBP.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar