Natal dalam Selimut Pandemi
Pada tahun 1914, Eropa sedang diselimuti Perang Dunia I yang membawa kehancuran, ratap tangis, dan kesengsaraan.
Namun, di tengah kemelut itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Menjelang 25 Desember, terjadi gencatan senjata antara dua belah pihak yang baru saja saling menyerang beberapa jam sebelumnya.
Apa alasannya? Untuk pertama kalinya para tentara di palagan sepakat tak saling menyerang dan menurunkan senjata demi merayakan Natal.
Ketika fajar menyingsing di hari Natal, banyak tentara Jerman keluar dari parit persembunyian mereka dan mendekati tentara Sekutu di tanah yang netral. Pasukan Jerman berteriak “Selamat Natal” menggunakan bahasa lawannya. Tentara Sekutu dengan hangat menyambut lawannya dan bertukar senyuman. Perang seolah sirna, meski hanya sementara. Para serdadu yang seharusnya bermusuhan itu saling bertukar hadiah, bernyanyi lagu Natal, bahkan bermain sepakbola. Suara percakapan ramah, gelak tawa, humor, dan nyanyian menggantikan suara tembakan dan hujan mortir di hari-hari sebelumnya.
Sayangnya momen damai ini tidak berlangsung lama. Segera tatkala para komandan mengetahui “perdamaian” ini, perang kembali berkobar. Meski demikian, betapa secuplik momen Natal mampu memberi pengharapan dan kelegaan kepada para tentara di tengah perang akbar sekalipun.
Natal di Masa Pandemi
Natal tahun 2020 jelas berbeda dengan Natal tahun 1914, ketika jutaan orang meninggal akibat perang. Pada tahun 2020 ini kita menyaksikan lebih dari 1,2 juta jiwa (dan terus bertambah) terenggut karena musuh yang tak kasat mata: virus COVID-19. Menjelang akhir tahun ini, virus tersebut telah menelan lebih dari 17.000 jiwa di Indonesia dan belum menampakkan tanda-tanda akan mereda.
Pandemi ini sudah mengusik, bahkan merusak banyak aspek dalam kehidupan kita, seperti kerugian ekonomi, kehilangan pekerjaan, putusnya relasi sosial, terhentinya kegiatan ibadah, pelayanan, hingga terenggutnya nyawa.
Dampak pandemi juga membuat banyak dari warga gereja mengalami gangguan kesehatan mental. Survei dari Komisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PGI pada 6-13 Juni 2020 menunjukkan 73.1% responden mengalami depresi ringan, 21.9% mengalami gejala depresi sedang, 3.5% terindikasi depresi cukup serius, dan 1.5% menderita depresi serius.
Situasi seperti ini mungkin membuat kita lelah dan menjerit kepada Tuhan, “Berapa lama lagi pandemi ini, Tuhan?” Jeritan ini mengingatkan kita pada keluh kesah Daud dalam Mazmur 13, ketika ia berteriak dengan nada putus asa, “Berapa lama lagi, TUHAN?” Bahkan, Daud meneriakkan pertanyaan itu sampai empat kali (Mazmur 13:2-3).
Terang bagi Kesuraman
Daud merasa begitu putus asa. Ayat 2 dan 3 mencantumkan tiga alasan Daud berputus asa. Pertama, ia merasa Tuhan melupakan dan menyembunyikan wajah-Nya. Kedua, karena itu, ia khawatir dan bersedih hati sepanjang hari. Ketiga, musuh-musuh meninggikan diri atas dirinya. Situasi yang dihadapi Daud tentu tidak mudah.
Apakah Anda juga merasa seperti Daud yang putus asa? Saat ini, di masa pandemi, mungkin ada dari kita yang merasa Tuhan melupakan dan menyembunyikan wajah-Nya terhadap umat manusia, termasuk kita. Membaca mazmur ini seperti melihat diri sendiri dalam posisi yang sama.
Rasanya kita lebih mampu menanggung masalah, bahkan penderitaan besar, jika kita tahu kapan itu akan berakhir. Namun, bagaimana jika masalah itu tak kunjung reda?
Dalam Natal yang masih diselimuti pandemi tahun ini, Kitab Suci mengundang kita berdoa seperti Daud. Daud meminta agar Tuhan memandang dirinya dan menjawab seruannya, lalu membuat matanya bercahaya (ay.4). Daud sadar, realitas hidup yang sungguh sulit bisa membuat pandangan mata batinnya berkabut dan gelap. Oleh sebab itu, ia berseru kepada Tuhan, “Buatlah mataku bercahaya!”
Bukankah kita juga membutuhkan terang Tuhan menyinari mata hati kita dan memberi kita hikmat serta pengetahuan-Nya? Rasul Paulus mengetahui pentingnya mata kita diterangi oleh Tuhan. Inilah yang didoakannya untuk jemaat di Efesus, “supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus” (Efesus 1:18).
Kita membutuhkan anugerah Tuhan menyinari mata hati kita supaya kerohanian kita tidak tertidur dan mati (ay.3). Mata batin kita memerlukan terang hikmat-Nya. Untuk itulah Paulus mendorong jemaat di Efesus, “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu” (Efesus 5:14).
Kesulitan yang dihadapi di masa pandemi ini rentan membuat pandangan mata rohani kita menjadi kabur dan secara perlahan membuat kerohanian kita layu. Namun, kita tidak boleh membiarkannya demikian.
Mari belajar dari Daud. Apa yang ia lakukan? Daud berseru kepada Tuhan, “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku” (ay.6).
Suatu keputusan rohani yang bijak! Sekalipun keadaannya membuat Daud berseru memohon kelepasan dari Tuhan, ia berkomitmen untuk tetap percaya dan bersorak-sorai karena penyelamatan Tuhan. Kiranya Mazmur 13:6 dapat menjadi kunci kebangunan rohani kita di masa sulit sekarang ini.
Meski hidup kita tidak mudah, Allah tetap setia dan tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5b). Dia mengizinkan kita berseru dan berkeluh-kesah apa adanya kepada-Nya. Dia tahu segala yang kita alami. Yesus Kristus, yang kedatangan-Nya kita rayakan di hari Natal, pernah mengalami kemiskinan, penderitaan, pengkhianatan, dan dipermalukan, seperti yang dialami oleh banyak dari kita. Dia, yang rela menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib, sekarang pun berdoa bagi kita serta ikut menderita bersama kita di masa pandemi ini. Karena Kristus, kita dapat tetap memiliki kelegaan dan kebersamaan, layaknya para tentara dalam perang masa silam, sembari mengingat kelahiran-Nya dan pengharapan yang dibawa-Nya bagi umat manusia.
https://santapanrohani.org/article/natal-dalam-selimut-pandemi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar